Postingan

sebut saja alkisah...

Dikisahkan kau dan aku. Bersama. Berirama. Tanpa murka. Dan dikisahkan pula kau dan bukan aku. Membagi cita. Tanpa reda. Bukan tak sama, melainkan saling menjaga. Bukannya sekarang zamannya begitu? Iya, bersama tak selalu merasa. Berirama pun bukan berarti senada. Rasa bisa terjadi kapan saja, dalam bentuk apa saja, dan dalam tempo yang tak bisa diperintah sekenanya. Tiba-tiba kau suka siapa sangka? Tiba-tiba kau mencela apa harus berdusta? Sedang tak sama, siapa sangka bertahan lama? Perasa tak dapat di logika.

Jadi?

Ini bukan apa-apa, bukan tentang siapa bukan perihal mengapa. Lantas? Aku bahkan tak tahu yang ada tiba-tiba tanpa sapa. Kau jatuh hati? Aku bahkan tak tahu yang ada tiba-tiba tanpa kata. Jadi? Aku bahkan tak tahu yang ada tiba-tiba tanpa rasa.

Ini Apa?

Meraba? Merasa?  apa ini iya atau tidak? apa ini benar atau salah? apa ini baik atau buruk? apa ini putih atau hitam? Kelabu Menerka kau tau apa? Ini luka mesti tak menganga tanpa jahitan atau kasa.

Perdebatan Purnama

Kau tau apa yang lebih indah dibanding purnama? Memangnya apa? Aku tak akan berkata bahwa itu kamu, karena tentunya beda. Kamu adalah kamu, dan purnama itu bukan dirimu. Lantas apa? Kau mau mencoba merayuku? Menggombaliku dengan kata-kata yang kerap membuat telingaku sendiri muak? Bukan, sudahku bilang bahwa itu beda, beda kan nggak sama. Lantas apa? Jangan membuatku penasaran, rasa-rasanya aku seperti orang bloon yang menantikan sebuah jawaban yang tak lebih penting dibanding mencabuti bulu ayam. Kau kata beda, jika kebanyakan mengata purnama indah dan kau kata aku beda, apa aku berarti kebalikannya? Tak indah maksudmu gitu? Kau ini ya, nggak sabaran sama sekali. Tau nggak kalau itu yang justru membuatku kerap bertahan lama disini? Maumu apa sih sebenarnya? Pernyataan olehmu yang kutanyakan saja belum kau jawab, dan kau mau menanya lagi? Sengaja membuatku begini? Seolah aku ini bodohꟷyah memang ku akui aku tak sepandai dirimuꟷ tak bisa menjawab pertanyaan konyol yang mungkin beruju...

Sila

sila menerka lihat yang kasat mata dan engkau bebas mengata jangan gusar delusi tak perlu dihajar alamiah nan sangatlah wajar tak perlu mengerang meski kerap bertolak belakang berbicara yang tak ada membuatmu benci logika sila menerka yang ada jangan mengada-ada

PELIK

Ramadhan pelik tak pernah lengang dahaga meski rahmat kerap mengguyur kota.  Beragam kecamuk meluap fisik menggertak batin mengeram tapi.....  Bumi masih saja bungkam.  Ribuan upaya dikerahkan jutaan materi dikorbankan tetap saja tak merubah keadaan.  Bukan,  bukan,  bukan Bumi yang terus membungkam.  Mengapa ego selalu terdepan? Mengapa sulit menyadarkan?  Toleransi tak hanya lisan menghargai tak hanya dengan perasaan,  ini tentang tindakan.  Bukan hanya Ramadhan pelik; tiap masa. 

Terkunci dalam Diam

Bungkam melekat bak perekat Per kata tak lagi mampu terucap Sedu yang kerap bertegur sapa Memprakarsa hingga diam membahana. Bukan dusta bukan arogan Bukan pula mendongak lantas mengabaikan Diri merindu akan perbincangan Namun rasa menolak untuk mengiyakan. Sirna sudah jalinan yang terikat Menyesatkan tanpa kejelasan Membunuh dengan amat menjengkelkan Hingga rangkak ku tak mampu kukayuhkan. Diam; Senyap. Senjata paling mematikan Paling ampuh yang tak terkalahkan Didamba saat gemuruh berdatangan Tapi, maaf Beri aku jalan pulang.